Saatku belum tiba.

Total sudah genap 3 tahun saya meninggalkan tanah air tercinta dan menjadi penduduk benua Eropa sini. 1 tahun terakhir ini saya sudah resmi jadi penduduk Swiss (penduduk yah bukan Warga Negara, passport saya masih ijo ada gambar Garudanya kok, entah kenapa banyak yang mengira saya sudah pindah WN).

2 tahun pertama di Jerman saya lalui dengan tidak semudah yang saya bayangkan. Perubahan iklim, status, profesi, budaya dan bahasa adalah hal-hal yang sebelumnya hanya saya pandang sebelah mata namun ternyata ketika dijalani kok ya ada merananya haha. 

Bukan merana dalam artian yang gelap banget gituh yah, nanti dibilang ga bersyukur.
Di Jerman saya hidup dengan baik-baik cukup makan cukup tidur, namun ya kondisinya beda banget sama hidup dulu di Indonesia Raya, Caruban kucinta. Dan karena biasanya kemampuan adaptasi saya cukup advanced level, jadi saya songong terlalu yakin ahhh semua akan mudah, hasilnya: saya terlalu kaget ajah ketike kena semprotan langsung tanpa tedeng aling2 orang bule Jerman pakai bahasa Jerman beneran bukan Jejer Taman/Kauman bwhahahahaha. 

Perubahan-perubahan mengejutkan dan kurang nyaman ini saya ratapi untuk 6 bulan lebih, bukan sesuatu yang patut ditiru sih, namun yaaaaa.... waktu itu semua berjalan secara otomatis. Otomatis mengingat-ingat dan membandingkan hidup di Indonesia dengan iklim tropis dan segala kemudahan dan kenyamanannya. Kacaunya segala pikiran perbandingan itu hadir tiap waktu karena kepindahan saya bertepatan dengan masuknya musim gugur, dimana hujan, angin, dingin dan mendung menyapa hampir setiap hari. Diperburuk dengan situasi yang masih nuansa pandemi, jadi hampir tidak pernah bertemu orang lain selain suami (hal ini untuk orang yang sangat type 'social' seperti saya tidak mudah). 

Hasilnya ...... saya sering sensi dan makan Indomie bwahhahahaha. 
Padahal di Indonesia ajah saya jarang banget makan Indomie, tapi kala itu ... Indomie berasa jadi hiburan cepat, mudah, kenyang yang cocok dengan lidah selera kampung sekaligus bikin happy gituh. 
Lalu ada satu momen, dimana saya yang sensi lalu suami juga lagi suntuk berantem lah. Saya yang dongkol  minggat dari rumah, tapi cuaca dingin dan belom punya teman, ngomong Jerman pun belom lancar. Naik kereta doank kesana kemari gak tentu arah sampai akhirnya kebelet pipis dan mau ga mau cari WC. Lihat ada hotel dari kejauhan, dengan pede masuk ke hotel langsung ke toiletnya dan ngendon didalam situ lamaaaaaaaa sambil mewek. Untungnyaaaa gak lama kemudian si Babang Suami ada ngechat nyariin dan suruh pulang, meskipun masih sebel tapi lega makploooonggg gituh, soalnya kaki dan tangan saya sudah mulai berasa membeku dingin banget. Sejak itu saya belajar, gak perlu minggat..rugi sendiri wbahahahahaa. 

Dari seorang yang independent dan terbiasa untuk mengurus segala sesuatu sendiri lalu tetiba semuanya harus berbagi dan bergantung dengan suami, bahkan diurusan seremeh-temeh berkomunikasi sehari-hari adalah hal yang cukup menghadirkan insecure dan kebingungan. 

Tahun pertama setelah kelar les bahasa, saya mencoba untuk melamar beberapa pekerjaan volunteer di München, namun karena lokasi rumah agak jauh dari pusat kota, jadi di tolak. Satu sisi bagus sih karena mereka tidak mau merepotkan saya untuk keluar uang transport tambahan, sisi lain: Yaaaa ampunnnn mau kerja sosial ga dibayarpun kok ya ga ada yang mau menerima! Melas gitu ajah vibes-nya ahhaha

Sampai setelah tahun kedua, lalu Babang mendapatkan tawaran pekerjaan di Swiss yang mengharuskan kami juga pindah ke negri impian banyak orang ini. Disaat itulah saya sadar ooooo...kemarin-kemarin ga dikasih dapat pekerjaan mungkin biar gak rempong kalau sebentar lalu pindah lagi, begitu hibur saya dalam hati. 

Dan benar, ketika saya melamar kerja sosial di Swiss, 2 lamaran dan dua-duanya diterima. Lalu saya memilih yang di Museum karena pertimbangan lokasi yang lebih dekat dari rumah. 

Setelah bekerja beberapa saat di Museum, kemampuan bahasa saya terbantu, setidaknya saya lebih berani ngomong dan meskipun masih belom bisa 100% mengerti semua apa yang dibicarakan (karena logat Swiss lain lagi dengan Jerman), namun 80% dari obrolan saya bisa menarik garis besarnya dan paham kata kuncinya sehingga jarang miskomunikasi. Agak lega, walaupun pasti masih ada momen "sorry apa? bisa tolong ulangi?".  

Namun ketika minggu lalu saya ada kelas wajib kursus satu hari penuh untuk syarat pindah SIM Swiss, beberapa hari sebelumnya saya sudah bergumul dengan: nanti gimana ini kalau orangnya ngomong logat Swiss lalu saya ga mengerti? Bagaimana kalau begini begitu ? Khawatir akan banyak hal!
Sampai pada pagi hari ketika waktunya tiba, bangun subuh karena harus ambil kereta pagi untuk ke tempat Kursus, mendadak punggung saya sakit banget, kaku-kaku gak jelas kayak ada ketindihan beban berat. Saya coba stretching namun tidak membantu, alhasil saya oleskan TigerLotion gituh, dengan harapan supaya panas dan meringankan rasa sakit kakunya, meskipun bau saya jadi bau emak-emak hahaha.

Sampai di tempat kursus saya paling pagi, dan tebakan saya benar, gurunya kalau ngomong logat Swiss kental buangetttttttt. Tegang sekali sewaktu perkenalan dan 1jam di awal kelas. Untungnya Tuhan bermurah hati dan ketika kelas praktek saya satu team dengan anak yang super extrovert, sangat entertaining dan cablak banget ngomong kesana kemari centil-centil rame gitu. Umurnya masih 19 tahun dan pribadinya luwes menyenangkan, dan dia juga berbicara inggris dengan lancar, jadi ketika saya kesulitan mengungkapkan dalam bahasa Jerman, kami langsung switching ke inggris. Ice breaking moment awal kami adalah ketika saya memindahkan HP dari tangan kanan untuk bersalaman dan kenalan dengannya, dan sekilas dia melihat background picture saya dan bertanya: kamu suka Kpop??? Saya yang bingung hanya Hah????? Lalu dia menjelaskan dia melihat background picture HP saya yang terlihat seperti foto group Kpop, saya terbahak, lalu saya buka HP saya dan saya tunjukkan bahwa itu foto keluarga, dia lalu tersenyum dan berujar nice big family!

Dan momen kursus bersama anak ini berhasil membuat sakit punggung saya hilang! hahahaha
Lucu sih, tapi sepertinya sakit punggung saya hasil dari stress yang berlebih, ketakutan di lingkungan yang saya harus sendirian seharian pula dan dengan bahasa yang masih harus konsentrasi penuh untuk bisa mengerti dengan baik, juga karena saya pikir kalo gagal bayar ulang lagi gituh. (Karena ketika Babang pindah SIM dulu tidak ada kewajiban beginian, jadi saya tambah deg-deg an kenapa diskriminasi sekali kok saya diwajibkan). Padahal sewaktu di Jerman malah saya lulus hanya sekali test, sedang Babang duluuuu harus ngulang 1 kali. Tapi ternyata saya terlalu berlebihan, kursusnya ternyata seperti 'syarat' ajah dan pasti lulus. Dan untungnya Tuhan baiknya juga kebangetan, sehingga saya malah diberi bonus bertemu dengan teman yang menyenangkan, jadi satu hari penuh namun ketika pulang saya tidak berasa exhausted seperti yang dulu-dulu kalau satu harian harus roaming full.

Singkat cerita, hidup saya disini masih GJ alias Gak Jelas hahaha.
Banyak pergumulan dan kebingungan. Melamar kerjaan seperti kasir supermarket ajah ditolak beberapa kali. Jadi sampai sekarang saya masih ibu rumah tangga saja belum bekerja.
Jalan hidup disini berasa masih gak-nyambung gituh loh, jadi belum mengerti dengan benar bagaimana nanti. Cita-cita dan rencana tetap ada, kegalauan datang dan pergi. Yang terlihat didepan mata masih gambaran yang buram berkabut. Namun saya memilih untuk tetap percaya sambil berusaha untuk terus berjalan dalam kehendakNya mengikuti perintahNya saja (itupun kan tidak mudah, karena seperti kisah kecil diatas, secara 'alami' kekhawatiran dan ketakutan berlebih bisa muncul dalam bentuk sakit punggung mendadak, mungkin efek umur kepala 4 juga sih yah hahaha) 

Melawan daging sendiri untuk tetap berharap pada Tuhan dan memaksa diri melihat semua dari perspektif Tuhan. 

Bila nanti diberi anak ya disyukuri, bila ga diberi pun ya gak perlu diratapi lah yah. 

Bila nanti bisa dapat perkerjaan ya disyukuri, bila gak pun ya tetep disyukuri masih bisa mampu untuk bersukacita dan mencukupkan diri dalam segala keadaan, itupun suatu berkat tersendiri. 

Bila nanti keinginan untuk buka usaha sendiri terwujud ya disyukuri, bila tidak pun gak perlu ditangisi. 

Untuk bisa tetap bersukacita walaupun jalan hidup kagak jelas, bertahan dalam pengharapan meskipun belum tahu kedepan bagaimana, tetap tekun walaupun tidak terlihat hasil apa-apa dan bisa tetap teguh percaya pada Tuhan ajah sudah merupakan berkat tersendiri.(Yang bahkan menurutku lebih berasa special sih, karena kehadiran Tuhan itu berasa lebih nyata dalam hal sehari-hari gini sih)

Jujur saya punya banyak cita-cita dan rencana, dan sering saya bagikan cerita ke teman, meskipun katanya kalau punya rencana simpan saja sendiri, tapi yaaa....saya pribadi yang suka bercerita sih. Kayaknya kalau simpan sendiri malah empet gituh. Kalau misalkan terjadi ya sudah, ga terjadipun ya sudah mau gimana hahaha. 
Ada beberapa respon teman yang biasanya muncul ketika saya menceritakan, ada yang membantu berbagi informasi oh iya saya kenal blabalalbala atau sekedar menyemangati wah sip semangat...atau ada juga yang mengingatkan wah itu capek loh apalagi umur sekita blablabla. 

Untuk respon group yang terakhir saya ada satu quote dari akun IG @trustjak yang saya jadikan penghibur dan penyemangat diri sendiri, macam penolak bala gitu kali fungsinya yah bwahhahahaha. Saya coba cari postnya gak nemu sih, namun ini dulu saya catat salin di journal saya gitu bunyinya begini:

'Capai mimpi itu harusnya ga bikin capek selama kita sadar Tuhan terlibat dalam petualangan kita dalam mencapai mimpi itu. 
Mimpi kita bisa jadi sempurna, tapi kalau waktunya ga sempurna lebih baik kita tunda. 
Waktunya Tuhan selalu sempurna'

Saya sepemahaman dengan bung @trustjak ini dan saya belajar untuk lebih melihat segala sesuatunya pakai perspektifnya Tuhan (ciehhh keren amat bahasanya)....aliasnya mungkin memandang segalanya dengan lebih 'enteng' (meskipun prosesnya tidak enteng untuk bisa memandang enteng ituuu). Kalau terjadi sesuai keinginan ya disyukuri, kalaupun tidak sesuai ya tetep di syukuri dan jangan disesali ataupun diratapi karena segala sesuatu dalam kedaulatan Tuhan dan untuk tujuan Tuhan dan kemuliaan Tuhan. Kalau memang belum terjadi, mungkin ada yang lebih baik, atau mungkin saja hanya saatku belum tiba. 


Kata Yesus kepadanya: ”Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba.” Tetapi ibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: ”Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!”-Yohanes 2:4-5-


Semua ada saatnya, ada prosesnya, kiranya kita bisa meresponi seperti ibu Yesus, untuk melakukan apapun yang Tuhan katakan dengan taat, apapun itu. 
Amen. 

 

Komentar