Hati Hamba? Hamba Hati?



berkatalah raja: "Bukankah itu Babel yang besar itu, yang dengan kekuatan kuasaku dan untuk kemuliaan kebesaranku telah kubangun menjadi kota kerajaan?"

=Daniel 4:30=
 Membaca kisah raja Nebukadnezar dalam Daniel 4 membuat saya merenung sejenak. Nebukadnezar meninggikan diri lalu direndahkan oleh Tuhan, hmmm menarik sekali kisah ini, sekaligus menusuk!

Tinggi hati sebenarnya adalah sifat yang sangat manusiawi dan wajar. Kita sering melihat orang ‘kaya tanggung’ yang suommmbongnyaaaa, bayangkan bila orang sebesar Nebukadnezar. Dia adalah seorang raja yang cukup kenamaan di jamannya, jadi sebenarnya dia punya ‘modal’ yang cukup realistik untuk menyombongkan diri.

Tapi, Tuhan ternyata punya rencana yang berbeda.
Jadi sekarang aku, Nebukadnezar, memuji, meninggikan dan memuliakan Raja Sorga, yang segala perbuatan-Nya adalah benar dan jalan-jalanNya adalah adil, dan yang sanggup merendahkan mereka yang berlaku congkak.
(Daniel 4:37)
Kerendahan hati, itulah yang Tuhan ajarkan kepada Nebukadnezar, dan beruntung Nebukadnezar menyadari dan berbalik dari kecongkakannya, sehingga ia dipulihkan.

Rendah hati adalah sikap yang Tuhan Yesus praktekkan sendiri melalui kedatanganNya ke bumi menjadi manusia bahkan dilahirkan di palungan kandang domba. Tuhan yang adalah pemilik segalanya rela turun ke bumi untuk turut merasakan hidup menjadi manusia.

Beradaptasi dengan lingkungan dan situasi yang lebih modern dan lebih baik itu mudah, namun menyesuaikan diri dengan kondisi di bawah standar yang biasa dijalani adalah sesuatu yang tidak gampang. Saya melihat contoh terdekat dari beberapa relawan Amerika yang mulai tahun ini merelakan 2 tahun masa muda mereka untuk menjadi tenaga pengajar di Indonesia. Perbedaan-perbedaan kecil seperti kamar mandi yang ada tikusnya, sarana komunikasi transportasi yang tidak sebaik dan senyaman di negaranya, serta makanan yang kurang bersih, cukup mengganggu masa-masa awal mereka untuk menyesuaikan diri. Namun, berselangnya waktu mereka mulai terbiasa dengan situasi yang baru dan perubahan yang telah mereka pilih sendiri.

Bukankah begitu juga di kehidupan pelayanan kita? Tuhan Yesus selalu mengajarkan agar kita saling melayani dan bukan meminta dilayani. Namun, kenyataan yang terjadi belakangan ini di lingkungan gereja, justru berbanding terbalik dengan prinsip nilai Kerajaan Allah ini. Pelayan-pelayan Tuhan menjadi tinggi hati dan memisahkan diri dari beberapa orang karena merasa lebih senior. Merasa layak dilayani, merasa lebih bisa lebih pintar dan lebih berpengalaman. Hati hamba yang seharusnya ada dalam setiap pelayan Tuhan pun menjadi semakin kabur keberadaannya. Kalimat seperti: “Saya ini pelayan Tuhan, kok diperlakukan begini!” akan sering terdengar hari-hari ini. Padahal bukankah menjadi pelayan Tuhan itu pilihan masing-masing pribadi? Dan, namanya saja: Pelayan Tuhan, jadi ya mbok coba diingat itu pelayan kerjaannya kan melayani bukan untuk  dilayani. Kalo maunya dilayani ya jangan memilih jadi Pelayan Tuhan, jadi Tuan Tuhan saja. ^^

Keinginan hati manusia pada dasarnya memang selalu ingin menjadi yang terdepan, tersukses, terkenal, ter-ter-ter. Namun prinsip Kerajaan Allah berbanding terbalik, bila ingin menjadi yang terbesar kita harus menjadi pelayan bagi semua. Bila ingin ditinggikan, kita harus merendah lebih dahulu, bila ingin mendapat kita harus memberi, jika ingin ‘hidup’ kita harus ‘mati’ terlebih dahulu. Begitulah prinsip Sorga! Dan saya yakin, patokan yang berdasar pada firman dan kasih setiaNya itu tak akan pernah salah. Ingatlah:
 Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
Kasih tidak berkesudahan;
= I Kor 13:4-8=

Jadi, kalau raja Nebukadnezar saja diijinkan Tuhan mengalami sesuatu demi menyadarkannya dari kecongkakannya, terlebih kita bukan?


  

Mari kita koreksi diri kita masing-masing, apakah hati kita masih berpaut pada kasih mula-mula? Hati seorang hamba? Ataukah kita telah menjadi ‘hamba hati’, yang melakukan segalanya semau-maunya sendiri sekehendak hati sendiri?

Dan lagi, sebenarnya kita manusia bisa membanggakan apa? Kepandaian? Selalu ada orang yang lebih pandai dari yang terpandai. Kekayaan? Selalu ada yang lebih kaya dari yang terkaya. Kecantikan? Kesuksesan?

Apakah perlu Tuhan mengingatkan kita seperti caraNya menyadarkan Nebukadnezar? Lalu kita semuaaaaa jadi seperti lembu makan rumput ramai-ramai, sampai kita cukup rendah hati untuk mengakui bahwa Sorgalah yang mempunyai kekuasaan dan bahwa kita manusia sebenarnya bukanlah siapa-siapa?  

God bless! ^^
@lusianasusanto

Komentar