Is "I don't care" the new normal???

Senin malam saya dan mama pulang dari Surabaya ke Caruban naik kereta api. Sebenarnya saya lebih suka turun di stasiun Madiun karena stasiunnya lebih layak dan ada banyak bapak porter sigap untuk bantu bawain barang.
Namun karena mama mau di Caruban saja biar cepat sampai rumah katanya, saya mengalah.

Yang terjadi seperti yang saya bayangkan, tidak ada tangga untuk turun dari kereta padahal jarak ketinggian gerbong dan platform nya jauh tidak sejajar, cukup menyusahkan, apalagi untuk kaki mama yang habis di operasi, saya rasa beliau pasti lebih kesulitan untuk turun.
Dengan bagasi dua koper masing masing seberat 15kilo, lalu posisi kereta yang berhenti di rel sebrang juga membuat adegan turun dari kereta menjadi lebih susah, karena setelah turun masih harus jalan melewati halang rintang jalan rel yang berbatu-batu. Batu-batu bearti: koper tidak bisa di dorong harus diangkat, sedangkan sifat sok-kesatria saya tidak mengijinkan mama yang baru keluar RS untuk ikut bantu angkat-angkat dan memaksa beliau menyebrangi rel lebih dulu, sehingga membuat semua arrival scene kami lebih drama!

Amazingly, Tuhan membuat adegan itu mungkin! Ternyata by God's grace dan tidaklah sia-sia ikutan gym setengah tahun kemaren, saya berasa jadi Popeye secara instant.
Yang cukup membuat miris adalah, BANYAK orang ada disitu menyaksikan adegan turun kereta yang rempong itu, dannnnnn kebanyakan mereka adalah L E L A K I!
Tapi mereka hanya mematung bagai mannequin! Oh, sempat sih ada sinyo2 yang membantu sebentar dengan kalimat "hmm sini saya bantu" tapi itu terjadi setelah menit ke ..... entahlah keberapa tapi karena dia gak bisa lewat-lewat setelah menunggu cukup lama sebab kami menghalangi jalan. Saya cukup berterima kasih karena dia ada membantu sedikit sewaktu melewati rel yang berbatu-batu, tapi setelah itu ya wes... dia dia diaaaaaaaaa ... ngelewes begitu saja haha.

Dari kejadian ini saya mendadak berpikir, apakah saya akan demikian juga bila ada pemandangan orang tak dikenal rempong kesusahan seperti yang terjadi pada kami?
Kemanakah sifat ringan tangan yang ada tercantum pada daftar nilai-nilai orang Indonesia di pelajaran PMP yang saya pelajari puluhan tahun silam sewaktu Unyil dan pak Raden masih nge-hits???

Is "I don't care" the new normal now?

I hope not!

Masih moment perkeretaapian yang sama, ada bapak-bapak yang entah bagaimana duduk mengangkat kakinya yang berdarah, entah kena apa tapi saya melihat beliau memanggil petugas dan berkata: "tolong ada kotak P3K?" Pak petugas lari untuk mengambilkan, saya membuka tas-kantong-Doraemon saya dan mengeluarkan betadine plus hansaplast lalu memberikan pada si bapak.
Terlihat di raut muka si bapak rasa terimakasih yang tulus terharu, sambil berkata "terima kasih yah cik" dia mengembalikan betadine dan hansaplast itu. Lalu berterima kasih juga sama mama saya, lalu pas petugas datang bawa P3K, beliau bahkan berujar: "oh sudah pak dikasih sama ciknya ini" sambil menunjuk saya yang masih rempong menutup ransel kembali sehabis mengembalikan betadine ke dompet p3k mini dalam tas punggung yang selalu saya gendong kesana kemari.

Saya menceritakan ini bukan untuk menuai pujian atas perlakuan saya, tapi mari melihat ketulusan "lebay" si bapak yang berterima kasih, bahkan memberitahu pak petugas tentang kisah bantuan betadine itu. Dan terlihat jelas, kita manusia pada dasarnya senang bila terbantu di saat kita membutuhkan meskipun kita tidak kenal siapa yang membantu dan suku agama atau ras apa yang memberikan bantuan. Bahkan reaksi si bapak yang memberitahu pak petugas bahwa kami yang membantunya lebih dulu adalah sebuah konfirmasi bahwa perbuatan baik itu berdampak dan otomatis  kita ingin mempromosikan kepada dunia "Heyyyy ini orang baik loh dia melakukan perbuatan yang baik dan saya suka!"

Saya tidak kenal bapak itu, bahkan dengan "otak Dory" saya....errrrr mukanya ajah saya sudah lupaaaaaaaaa #oucht. Tapi saya tidak lupa dengan ekspresi kebanggaan si bapak bahwa beliau telah terbantu bahkan bragging menunjukkan kepada pak petugas : ini loh yang bantuin saya! .......Siapa yang tahu efek apa yang akan dialami si bapak lebih lanjut, tapi saya harap beliau tertular virus suka-membantu dan suatu hari bila ada kesempatan yang sama, beliau menjadi pribadi yang akan menawarkan bantuan even to random strangers. 

Kindness is contagious!

Yup! Kebaikan itu menular, dan kita tidak pernah tahu efek apa yang akan ditimbulkan dari satu perbuatan kebaikan kecil kita, yang mungkin kita sendiri tidak sadar bahwa perbuatan itu bisa membawa dampak yang dalam bagi orang lain. Ya ya ya... dunia sekarang semakin banyak orang jahat dan banyak kepura-puraan meminta tolong yang berujung perampokan dll. Kita boleh waspada tapi jangan sampai kita berubah menjadi tidak peduli hanya dengan dalih keamanan diri.

Paul Scanlon dalam sinopsis buku "The 15 Revolution" yang ditulisnya mengungkap tujuan tulisan yang dibuatnya:
to make us more aware of the people in our immediate space and to provoke us
 to be the bringers of God’s life to the hurting world on our doorstep. 
It is as simple – and as difficult – as being willing to give 15 minutes a day 
to be inconvenienced in order to help someone.










Hmmmmmmm.... bukankah ini esensi sejati dari kekristenan?
Bukankah kita manusia pada dasarnya suka menerima kebaikan?
Bukankah kita senang diperhatikan, dikasihi dan dipedulikan?
Lalu mengapa sering kali yang terjadi kita menggembar-gemborkan "mencari jiwa", "menyelamatkan-yang-hilang", "memberitakan injil", tapi lupa untuk melakukan dan membagikan Injil melalui setiap aspek hidup kita sehari-hari.
Kita mengajak orang ke gereja, memuji Tuhan dengan rutin, namun kelakuan kita tidak membuat mereka nyaman untuk bergaul karib dengan kita.
Kita melakukan pelayanan dan menjabat tangan orang-orang di gereja dengan senyum ramah tapi kita terlalu pelit untuk mengeluarkan rupiah dalam dompet kita untuk orang lain.
Kita sadar dengan kasih Allah yang besar pada kita, bersyukur mengetahui predikat kehormatan kita sebagai anak dan umat Tuhan, namun secara tidak langsung kita menjadi eksklusif dan tidak menyalurkan kebaikan yang telah kita terima. Malahan, menganggap orang yang tidak dijalur yang sama bukan-golongan-kita dan tidak perlu berinteraksi dengan mereka dengan tedeng pembenaran diri ayat Alkitab "pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik". Hmmmmm alasan yang cukup rohani bahkan.

Saya orang Kristen, bukan saya menjelekkan agama saya, dan saya juga manusia yang mungkin saja masih juga melakukan hal-hal yang saya ketik sendiri diatas.
Tapi, yuk kita coba bersama-sama untuk lebih merenungkan dan memperbaiki sikap kita hidup sehari-hari. Tuhan Yesus berbuat baik kepada SEMUA orang, Tuhan yang sama membuat matahari bersinar setiap hari untuk SEMUA orang, Tuhan Yesus tidak membedakan kamu dari ras apa golongan apa gereja mana agama apa. Lalu mengapa kita yang katanya orang Kristen terlalu sering melakukan kebalikan dari teladan Tuhan kita?
JANGAN kita yang menyebut diri Anak tidak mencerminkan sifat kasih Bapa kita!

#renungan

Matius 5:44-48

5:44 Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. b  5:45 Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak c  Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. d  5:46 Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? e  Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? 5:47 Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? 5:48Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna. f "






Komentar